Seteko Teh Kamomil di Teras Paul

SIGN UP

Percakapan singkat dengan Kak Kim Mei yang terjadi melalui aplikasi bertukar pesan pada beberapa pekan lalu berisi ajakan bertemu membawa saya menuju selatan Jakarta. Siang itu ketika sampai di lokasi saya celingak-celinguk mencari sosoknya. Saya picingkan mata untuk memastikan bahwa wanita cantik di sudut teras berpayung yang menyapa saya dengan melambaikan tangan dari jauh adalah benar Kak Kim Mei. Ini kali kedua saya menjumpai sosoknya, setelah yakin sosok tersebut adalah Kak Kim Mei saya berjalan mendekat. Segera saya menarik kursi untuk bergabung ke mejanya dan memesan seteko teh kamomil kepada pelayan.

Turut bersama Kak Kim Mei dan duduk di hadapannya adalah Pak Sjahrazad Alamsjah—yang selanjutnya saya sapa Pak Monchu, meski beberapa kali beliau melontar kritik perihal kebiasaan kesantunan budaya Asia untuk menambah kata sapaan Bapak, Ibu, Mbak, di depan nama seseorang. Ternyata selanjutnya giliran saya yang protes kepada Kak Kim Mei karena memanggil saya Mbak.

Diskusi kami dibawah sudut teras Paul itu seru—selain karena meja yang alasnya timpang sehingga cangkir berisi teh kamomil bergoyang kencang tiap pedestalnya tak sengaja tersentuh kaki, namun juga karena larutnya kami membahas ulang awal pertemuan yang tidak disengaja pada helatan kelas Program Profesi Arsitektur Universitas Indonesia undangan Bapak Hendrajaya Isnaeni, pembimbing akademis saya semasa kuliah strata satu, salah satu pendidik yang saya kenal yang baiknya minta ampun. Ketika itu saya diminta berbagi pengalaman karir setelah menjalani strata profesi kepada calon wisudawan, begitupun Pak Monchu bersama tim—salah satunya Kak Kim Mei, yang diundang untuk memberikan ceramah singkat tentang revolusi digital.

Sepanjang ngobrol santai dan diskusi dengan Kak Kim Mei mengenai uiarch.net, Pak Monchu tak lepas sentuh dari laptopnya. Beberapa kali menyahut dari balik laptopnya yang saya ingat beliau menyayangkan tentang telat dan leletnya pemanfaatan teknologi dan informasi di Indonesia, dan betapa data sesungguhnya adalah sesuatu yang powerful—di lain waktu saya menyaksikan saluran berita yang membahas pada era ini data menjadi komoditas yang lebih mahal dari minyak, lalu gelontor investasi raksasa teknologi Google dan Tencent kepada Gojek yang sudah pasti tujuannya mendulang komoditas data. Jika diolah kecerdasan buatan, profiling personal pengguna seperti aktivitas, lokasi bepergian, kesukaan makan dan jajan rupanya akan menjadi informasi berharga, contohnya untuk meramal prospek bisnis di masa depan.

Kali ke sekian menuang ulang teh kamomil ke dalam cangkir, saya menjadi penasaran pada sosok Pak Monchu lalu bertanya mencari tahu mengapa Pak Monchu melabuhkan karirnya pada bidang teknologi dan informasi. Jawaban Pak Monchu saat itu terlalu panjang untuk dituangkan dalam satu paragraf, namun tiga puluh tahun lalu rupanya utak-atik beliau saat memanfaatkan perangkat lunak AutoCAD versi awal agar beliau dapat efektif memproduksi gambar tekniklah yang membawanya pada kecintaan terhadap bahasa pemrograman dan matematika komputasi. Tentu saya tercengang sebagai generasi yang mengenal AutoCAD versi masa kini yang fungsinya telah sangat dipermudah, itupun gagap betul mengoperasikannya.

Setelah obrolan-orolan ringan lain dan beberapa teguk teh kamomil penghabisan sore itu ajakan Kak Kim Mei bergabung jadi kontributor saya amini. Sebetulnya saya sungguh sudah lama tidak menulis bahkan di sosial media, terakhir sekali tulisan yang saya buatpun terkait tuntutan akademis. Untuk mengenang pertemuan di Paul, tulisan pertama ini saya dedikasikan untuk Kak Kim Mei dan Pak Monchu. :D

More posts