Kebergantungan Status Arsitek Bergaya Parametrik terhadap Piranti Rancang

SIGN UP

Abstrak

Dalam menggunakan bacaan karya Kenneth Frampton, "The Status of Man and the Status of His Objects: A Reading of The Human Condition" sebagai alat bedah, saya mencoba membahas sekelumit ide seorang arsitek Patrik Schumacher tentang gaya rancang Parametricism atau arsitektur parametrik untuk mengamati hubungan-hubungan yang terjadi dalam proses penciptaan karya antara sang arsitek, obyek karyanya, serta piranti lunak sebagai fasilitas dan mediumnya. Pendapat yang ingin saya sampaikan di sini terutama ialah, bahwa dengan hadirnya piranti lunak sebagai perangkat perancangan, maka sang arsitek berpotensi semakin tereduksi peran dan statusnya sebagai subyek pembuat karya, disertai kebergantungannya terhadap alat, khususnya di sepanjang proses merancang desain parametrik. Hal ini juga memungkinkan secara radikal menjauhkan jarak, keaslian (originalitas), dan kreativitas arsitek dengan karyanya.

Sebagai awalan, saya ingin menjelaskan sedikit ulasan mengenai “status manusia” dan “status obyek” yang dimaksud oleh Kenneth Frampton dalam tulisannya yang bagi saya menarik untuk kita simak. Frampton meminjam terminologi dari Hannah Arendt, yaitu “kondisi manusia” (human condition) memiliki dualitas yang selalu terpaut terutama sifat dan motif manusia dalam berkarya dan bergerak, yaitu antara labor dan work. Dalam bahasa Indonesia, kedua kata tersebut bisa diterjemahkan sebagai kata kerja. Di dalam etimologi bahasa Inggris, keduanya berangkat dari suatu alasan yang berbeda setidaknya menurut Hannah Arendt.

Melihat secara teoretis terhadap sistem penggunaannya, kata labor dimaknai untuk menandai suatu kerja yang bersifat proses, privat dan impermanen, sedangkan kata work meliputi kebalikannya yang statis, publik dan bersifat permanen (Frampton, 1979). Labor secara konkret singkatnya bisa digunakan pada penggunaan istilah kerja yang bersifat ‘kasar’ yang bagian kerjanya biasanya dikategorikan dalam proses-proses terpisah bagian per bagian (privat), seperti yang umumnya ditemukan di pabrik atau industri.

Work juga bisa diartikan sebaliknya, yaitu “kerja” yang tidak bersifat sekadar proses semata, akan tetapi justru manusianya mengerti keseluruhan karya apa yang ia produksi sehingga manusia tersebut mengerti betul apa yang ia kerjakan. Dalam pandangan lain juga disebutkan bahwa labor dan work bisa diukur dari tingkat “minat” atau keterpaksaannya seseorang untuk melakukan pekerjaannya. Minat yang dimaksud ini diidentikkan dengan antusiasme manusia yang menuangkan pemikirannya secara menyeluruh terhadap pekerjaannya.

Tesis utama yang tertuang dalam tulisannya ialah manusia dikatakan telah terjauhkan jaraknya antara dirinya dengan produk yang ia buat atau ciptakan. Hal itu, menurut Frampton salah satunya yang utama disebabkan oleh kehadiran modernisme (Revolusi Industri) dalam kehidupan berproduksi. Diawali dari kemudahan akan memproduksi barang secara masal oleh mesin-mesin dan teknologi, alat-alat dari hasil modernisme ini akhirnya turut andil besar dalam membentuk suatu kualitas karya. Tendensi dari produksi masal dan proses industri juga memicu minat konsumsi masal yang seringkali barang tersebut tidak begitu esensial bagi manusia pengguna.

Tesis-tesis Frampton ini saya jadikan sebagai alat bedah untuk membahas gagasan Patrik Schumacher. Di lain sisi melompat ke gagasan utama tulisannya, yaitu Parametrikisme, ketika melakukan pembacaan terhadap pemikiran Schumacher, bagi saya para pembaca juga harus curiga atau skeptis terhadap teks-teks terlebih dahulu. Tradisi pos-strukturalis seperti ini lebih menekankan pada apa yang berada di balik si subyek penulis teks dibanding membahas teks itu sendiri, terutama dengan menggunakan kacamata Frampton alias kacamata Arendt, berarti saya harus pertama-tama mengkaji relasi-relasi yang terbentuk dan yang dibahas oleh tulisan Patrik Schumacher sedari awal karya tulisannya hingga yang terakhir (tahun 2016), terutama menelurkan ide mengenai desain, konsep, karya, gaya atau bahkan manifesto Parametrikisme atau Parametricism.

Di dalam desain parametrik, relasi yang dapat saya temukan antara lain subyek pendesain berupa arsitek, obyek karyanya yang berupa desain dan model serta juga sebuah ‘medium’ untuk memperantarainya. Medium yang dimaksud ialah komputer yang secara jelas ia sebutkan secara definitif pada permulaan paragraf penjelasan Parametrikisme.

Terkait dengan tulisan yang ingin disampaikan oleh Frampton ialah mengutip pendapat Arendt, Frampton juga menuliskan bahwa era modern tersebut telah membuat “jarak” antara arsitek dan karya desainnya. Jarak yang dimaksud bisa jadi berupa “batasan-batasan” yang tersedia pada fasilitas atau tools di setiap peranti lunak yang digunakan selama pembuatan desain parametrik.

Alhasil, kita selalu dituntut untuk menggunakan tombol-tombol baku dan dipilihkan seperti line, rotate, extrude, curve, mirror dan lain sebagainya. Sekilas memang alat tombol ini jelas membantu, tetapi pada akhirnya yang saya pertanyakan adalah: jika setiap alat telah memiliki kategori-kategori sendiri dalam pengerjaanya, bukankah alat tersebut semakin mencapai sifat otonominya dalam proses produksi karya?

Dengan kata lain, setiap tindakan arsitek yang memproduksi desain melalui peranti lunak ini pengerjaannya telah terwakili oleh tombol-tombol kerja, maka dari itulah alasan status mereka sebagai arsitek dalam relasi ini disebut sebagai pengguna (user) peranti, bukan pembuat karya (creator). Jika ini terus dikritisi lebih lanjut, akan ada suatu kondisi yang juga dalam konteks tulisannya juga disebut oleh Frampton, di mana alat telah berhasil membuat dirinya sendiri memiliki sifat otonominya sendiri (autonomous), teroptimasi penggunaannya (optimized), sekaligus juga ironisnya teralienasi (alienated) dari realitas fisik.

Sebetulnya, muara dari tulisan Frampton mengarah pada pertimbangan-pertimbangan regional di setiap mendesain arsitektur selain hanya pada pertimbangan produksi masal semata. Frampton mengkritisi arsitektur modern yang baginya meniadakan work sebagai sifat alamiah manusia, dan bukan sifat manusia yang lain atau yang disebutnya sebagai homo faber (pembuat alat dan instrumen) melihat alam dan kerjanya. Desain parametrik dapat saya katakan merupakan salah satu dari produk akhir (setidaknya hingga saat ini) perjalanan dari arsitektur modern, bahkan menandai kebangkitannya di mana kemunculan alat berupa peranti (kali ini bersifat lunak) lagi-lagi menguasai produksi, seolah-olah modernisme arsitektur mengalami kebangkitannya lagi di era abad ke-21 ini. Ciri khas yang umum terlihat pada karya modernis adalah ketiadaan aspek culture atau kebijakan dan kebijaksaan regionalistik suatu daerah dan konteks. Dalam desain komputer, aspek kebudayaan seringkali tidak tertuang, karena mudah saja argumentasinya: pencerapan komputer terhadap "kebudayaan" jelas tidak sama dengan manusia.

Setelah saya menjabarkan kondisi di atas tersebut, kembali pada topik desain parametrik, bisakah saya katakan bahwa desain tersebut dihasilkan sebagian besar berkat usaha dari perangkat peranti dan bukan karya manusia seutuhnya? Lalu jika demikian benar adanya, bagaimana halnya dengan medium peranti keras (hardware) konvensional berupa alat gambar seperti pensil atau kertas yang telah digunakan jauh sebelumnya? Bukankah alat-alat ini juga setidaknya mereduksi ide dan pemikiran manusia terhadap karyanya?

Inilah yang barangkali disebutkan oleh Arendt dan Frampton sebagai alienasi karya, medium dan subyek manusia sebagai akibat dari pemisahan-pemisahan otonomi antarrelasi di setiap pengerjaan desain. Alat semakin lama semakin memperjarak manusia sebagai subyek pembuat dari karyanya, alih-alih dari menggunakan demi mencapai efisiensi waktu dan kemudahan visualisasi desain.

Bahkan, secara ironis dapat juga saya katakan bahwa gaya dan metode desain Parametrik dalam satu sisi sebetulnya telah lahir dari visualisasi dan kemampuan untuk menunjukkan gradiensi dan bentuk-bentuk kurvatur dari sebuah perangkat peranti keras komputer dan peranti lunak berupa AutoCAD, Rhyno atau SketchUp itu sendiri, bukan dari ide dari subyek pemikiran manusia sebelumnya, yang itu baru ditemukan gagasan dan diperkuat konsepnya seperti adanya semiologi parametrik, parameter sosial, dan lain sebagainya yang baru disusun belakangan hari oleh Patrik Schumacher. Jadi, jika boleh secara jujur kita merefleksikan terhadap penulisan dan gagasannya, siapa yang menciptakan ide desain tersebut? ***

DAFTAR PUSTAKA

Schumacher, P., 2014, ‘Design Parameters to Parametric Design’ in M. Kanaani & D. Kopec (eds.)., The Routledge companion for architecture design and practice: Established and emerging trends. New York: Routledge, Taylor and Francis, viewed April 23 2016 from http://www.patrikschumacher.com/Texts/Design%20Parameters%20to%20Parametric%20Design.html

Frampton, K., 1979 , ‘The Status of Man and the Status of His Objects: A Reading of The Human Condition’ in K. Michael Hays (ed.)., Architecture theory since 1968. New York: A Columbia Book of Architecture.

More posts