Jiwa Kawasan Menteng Dalam Rancangan Hotel DoubleTree

SIGN UP

Hotel DoubleTree by Hilton Jakarta - Diponegoro terletak di Jl. Pengangsaan Timur, bersebelahan dengan pasar Cikini, dan Universitas Bung Karno. Pintu masuk utama tidak lebar dan mencolok, sehingga harus seksama melihat papan nama hotel, agar tidak terlewat. Padahal dari kejauhan, tower berbentuk bidang datar lebar yang didominasi warna biru dan kuning sudah jelas terlihat, sangat ikonik.

Jarak antara pintu masuk utama dan lobby tidak terlalu jauh. Ada pohon besar, eksisting, di depan hotel, sangat signifikan, dengan batang dan cabang yang besar dan tajuk yang rindang. Sebagian cabang pohon menabrak bangunan, tampak jelas sisi bangunan yang ditabrak mengalah-menyesuaikan diri dengan cabang pohon-. Kendaraan masuk dan keluar mengelilingi pohon besar itu. Kesan dari luar, lahan terbatas, akan tetapi di dalam terasa luas, karena kondisi lahan yang mengantong.

Dari pohon dan bentuk bangunan, ada dua cerita yang ingin disampaikan, bahwa pohon tumbuh dan berkembang dari masa lalu dan menjadi bagian dari masa kini. Sedangkan bangunan, lahir dari masa kini dan merupakan produk perkembangan kota. Mereka dihadirkan dalam masa yang sama, walau lahir pada masa yang berbeda.

Lahan hotel DoubleTree membentang pada dua muka jalan, yaitu Jl. Pegangsaan Timur dan Jl. Kimia. Tapi, akses masuk hotel hanya dari Jl. Pengangsaan Timur, akses jalan dari Jl. Kimia ditutup. Lahan seluas 2.2 hektar itu direncanakan akan dibangun dua tower , yaitu 15 lantai pada fase pertama dan 17 lantai pada fase kedua. Peruntukan tower 15 lantai untuk kamar hotel dan tower 17 lantai untuk apartement resident.

Fase pertama pembangunan terdiri dari tower 15 lantai (196 kamar dan 25 suites). Ruang makan dengan kapasitas 160 tempat duduk, lobby lounge/bar, 65 tempat duduk untuk restauran-mediterranean cuisine-, 400 seat banquet/ 4 ruang meeting, ball room, kolam renang terbuka, gym, dan spa.

Pada fase kedua akan dibangun tower 17 lantai, di dekat Jl. Kimia. Jalur jalan dari arah Jl. Kimia sudah dibangun pada fase pertama, sehingga tamu/penghuni apartemen dapat menggunakan akses jalan dari Jl. Kimia, (tidak perlu melalui Jl. Pegangsaan Timur yang lebih dekat ke hotel). Selain itu, traffic (arus pergerakan) kendaraan lebih sedikit dan lebih privat.

Sirkulasi kendaraan

Tahapan jalur sirkulasi tamu ; naik menuju lobby yang terletak di lantai 2, mengitari taman berbentuk segi empat dan pohon besar, menurunkan penumpang di area drop off, lalu kendaraan menuju basement. Sedangkan jalur sirkulasi service, langsung menuju area service yang terletak di lantai 1.

Parkir dirancang khusus di basemen, agar lahan yang tersedia digunakan untuk ruang terbuka ; taman, kolam hias, dan hamparan rumput. Ada 3-4 taksi khusus (mewah) yang parkir di depan lobby, sedangkan semua kendaraan harus parkir di basemen.

Tamu yang menuju ke ball room, dapat langsung menuju drop off di dekat ball rom (tidak perlu melalui hotel). Pemisahan dua jalur drof off untuk hotel dan tamu menuju ball room untuk menghindari penumpukan kendaraan pada satu titik, selain itu jalur jalan dari pintu masuk menuju drop off ball room sangat panjang, sehingga dapat menghindari kendaraan tumpah ke Jl. Pengangsaan Timur pada saat datang bersamaan.

Sisi kanan bangunan menjadi jalur sirkulasi kendaraan menuju dan keluar basement, pergerakan kendaraan di dalam lahan dibatasi dari pandangan tamu, hanya kendaraan di depan lobby, area drop off -area menaikkan dan menurunkan tamu- yang terlihat. Mengurangi/menutup pergerakan kendaraan dari pandangan tamu di dalam lahan akan berdampak secara psikologis.

Orientasi dan Masa bangunan

Orientasi bangunan pada skala podium dan skala tower. Pada skala podium, (fungsi publik hotel), orientasi mengarah ke depan, menghadap Jl. Pengangsaan Timur. Dari lobyy, tamu dapat menyaksikan kesibukan kota, melihat kereta api yang sedang berjalan di atas rel di stasiun Cikini, jalur jalan Pengangsaan Timur yang padat oleh kendaraan, dan bangunan di depan hotel. Orientasi ini mengikat tamu terhubung dengan jalan. Walaupun tapak dirancang tertutup (bambu menutup rapat tapak dari lingkungan sekitar), tapi pada bagian depan, sengaja dirancang terbuka, sehingga ada perasaaan terhubung dengan kota.

Pada skala tower, orientasi mengarah ke Utara-Selatan, menghindari sinar matahari langsung masuk kamar. Posisi ini menyebabkan bidang datar tower 15 tidak berhadapan langsung dengan jalur Jl. Pegangsaan Timur, tapi miring. Ini menyebabkan bidang tower ke arah Barat menghadap node Jl. Proklamasi , Jl.Cikini, dan Jl. Pegangsaan Timur, sehingga mudah dilihat dari perempatan jalan tersebut, sedangkan ke Timur mengarah ke kolam renang terbuka dan Universitas Bung Karno.

Orientasi tower memancing keingintahuan dari kejauhan. Ibarat sebuah pintu yang terbuka, dan setiap orang berusaha untuk mendekat dan memasukinya.

Koridor yang menuju ruang meeting (lantai 2) tegak lurus dengan tower. Koridor ini sejajar dengan masa bangunan spa dan gym. Sedangkan koridor yang menuju tower 17, tegak lurus dengan Jl. Pegangsaan Timur, koridor ini disamarkan oleh toko dan business center, sehingga bila berjalan dari arah tower 17 tidak akan langsung terlihat Jl. Pengangsaan Timur, tapi tertutup dinding toko (saat ini dijadikan ruang multi fungsi).

Jalur sirkulasi di dalam bangunan ini mengarahkan tamu ke berbagai ujung dan kegiatan yang berbeda-beda. Ada dua area yang mempunyai jalur sirkulasi yang jelas dan tegas, misal dari lobby ke ball room atau dari lobby ke meeting room. Jalur ini lurus, langsung, dan tujuan yang akan dicapai jelas. Tapi, di area kolam renang, spa dan gym, dan restoran, jalur sirkulasi dirancang berkelok-kelok, santai, rileks, dan menimbulkan rasa keingintahuan. Perbedaan konsep sirkulasi berdasarkan peruntukan ruang.

Sirkulasi berupa garis lurus memberikan kesan tegas dan jelas, sedangkan sirkulasi yang berkelok-kelok memberikan kesan santai dan rileks.[1]

Selain itu, jalur sirkulasi menyebabkan setiap orang yang bergerak dari satu area (kegiatan) ke area (kegiatan) yang lain harus berjalan melalui beberapa area (kegiatan), tidak bisa langsung, misal dari dari kamar ke gym, dapat melalui lobby utama, ruang makan, dan spa.

Sosok tower 15 lantai

Tower 15 seperti bidang datar besar yang di bagian tengah terdapat dua kubus yang “seakan-akan” keluar dari bidang datar itu dan tiga kubus yang masuk (hilang di dalam bidang). Ini menjadi aksen dari bidang besar itu.

Deretan jendela yang tersusun rapi pada bidang datar itu dengan mudah ditebak, kamar. Posisi lift dan tangga darurat juga terlihat jelas dari arah depan (Barat).

Rancangan tower 15 yang terdiri dari bidang datar, garis-garis lurus, dan kubus, mengambarkan rancangan urban yang sesuai dengan perkembangan kota Jakarta. Dari samping, tower berlantai 15 ini terlihat seperti dua masa bangunan yang berdekatan dan saling terhubung oleh garis lurus di bagian tengah. Garis lurus berupa dinding kaca tipis, tempat sinar matahari masuk menerangi selasar (koridor) kamar.

“DCM selalu membagi-bagi bangunan, kami tidak ingin bangunan berkesan gemuk”, kata Budiman Hendropurnomo, principal arsitek DCM (Duta Cermat Mandiri) yang merancang Hotel DoubleTree. Kedua masa bangunan itu sengaja dirancang berselisih untuk memberikan kesan dinamis. Jika kedua bangunan itu dilihat dari posisi tertentu, ada kesan “gerak”, bergerak saling mendekat dan menempel satu dengan yang lain, atau sebaliknya, bergerak menjauh, pada satu garis. Kesan ini yang ingin ditampilkan DCM, sehingga tidak muncul kesan, satu bangunan besar yang dibagi dua sama besar, jika tidak ada selisih di antara keduanya.

Kedua bangunan itu tidak menempel/berpijak di atas tanah, tapi ditopang oleh kolom-kolom yang ramping. Seirama dengan bentuk bangunan yang tinggi menjulang.

Lansekap

Suasana di dalam tapak dikondisikan lepas dari kesibukan kota Jakarta yang ada di sekitarnya, misal pasar Cikini, Universitas Bung Karno, Metropole (kuliner dan bioskop), rumah sakit Cipto Mangunkusumo, dan Taman Ismail Marzuki (pusat kesenian). Salah satu caranya dengan menutup tapak dengan tanaman bambu. Bambu bertajuk rapat dan tinggi, dan biasa digunakan untuk menutupi kawasan dari lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, beberapa bangunan tinggi di sekitar Hotel, masih terlihat dari dalam tapak, walau tersamarkan dengan daun-daun bambu dan pohon.

Arsitek lansekap menjadi bagian dari team DCM (tidak dari konsultan lain), sehingga selalu terintegasi antara arsitektur dan lansekap dalam merancang tapak. Tapak sebelumnya merupakan lahan kosong yang ditumbuhi tanaman liar. “Ada tiga pohon besar yang dipertahankan, tapi salah satu pohon mati pada saat proses pembangunan”, kata Budiman. Salah satu misi pembangunan Hotel DoubleTree adalah melestarikan pohon-pohon eksisting, merancang ruang terbuka hijau dan “memberikan”nya sebagai ruang terbuka hijau kota.

Di depan hotel, satu pohon eksisting trembesi (Samanea saman) berukuran besar dan pohon palem raja (Roystonea regia) berjejer di bagian pintu masuk. Palem raja berfungsi sebagai pengarah.

Ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru difokuskan di area kolam renang. Dalam rancangan ada tiga ruang terbuka biru berupa ; kolam renang, kolam di area spa, dan kolam di dekat ball room. Akan tetapi pada pelaksanaannya ada dua ruang terbuka biru, kolam renang dewasa dan kolam renang anak.

Ruang terbuka hijau menyebar di pinggir kolam renang dan di pulau yang terletak di tengah kolam renang dewasa. Di area dekat kolam renang di dominasi tanaman dadap merah (Erythrina cristagali), palem, Philodendron bipinnatifidum, dan kelapa (Cocos nucifera). Pemilihan tanaman di dekat kolam renang didominasi oleh jenis tanaman yang tidak berbunga, tapi sebagai aksen terdapat bunga merah pada tanaman dadap merah. Kelapa memberikan suasana relaks.

Jalur sirkulasi dirancang berkelok-kelok sehingga pengunjung dapat menikmati beragam pengalaman ruang di sekitar kolam renang. Pulau di bagian tengah kolam renang memberikan pengalaman berbeda, karena berada di antara air. Jembatan penghubung menuju pulau dipagar dengan kaca, sehingga pandangan lepas tidak tertutup. Untuk menuju jembatan terdapat pagar pendek yang ditutup dengan batu alam. Selain menjadi pembatas antara air kolam renang dan area antara menuju kolam renang, ada sebagian orang yang menggunakan pagar ini menjadi tempat diskusi. Mereka duduk di atas pagar, berjejer dan saling berhadapan, serta membangun diskusi di area ini.

Seluruh pandangan menuju kolam renang dirancang terbuka, termasuk dari arah podium. Pohon Ketapang Kencana (Terminalia Catappa) dirancang di restoran di dekat kolam. Pohon mempunyai tekstur daun yang halus, sehingga tidak menutup pandangan dan memberikan kesan ringan pada area ini. Tajuk yang lebar dan rapat menaungi ruang-ruang yang ada di bawahnya. Cabang pohon yang satu menyatu dengan pohon yang lain.

Keputusan untuk tidak merancang taman atap (roof garden) pada dek di atas kubus yang keluar dari bidang bangunan, merupakan keputusan yang tepat, sehingga permainan kubus yang “seakan-akan” keluar masuk bidang bangunan menjadi kuat, apabila dilihat dari jalan (ruang kota). Akan tetapi, bagaimana dengan pandangan dari dalam bangunan tower berlantai 15 itu, pada saat orang keluar masuk lift ? Area di atas dek dirancang dengan pasir dan batu, seperti taman Jepang, tentu konsep ini menjadi “lari” dari konsep ruang luar yang mengarah ke konsep tropis.

The Various elements the Japanese garden is made of –plants, stones, sand, and ornaments have become so well know that they are now representative of the garden themselves.[2]

Dari lantai 15, terlihat garis-garis atap yang menaungi ruang-ruang yang ada di bawahnya. Ada garis atap yang sejajar satu dengan yang lain, tapi ada garis atap yang membentuk sudut. Agar terlihat dinamis, atap dibentuk menjadi bidang diagonal yang diisi dengan warna hijau, putih, dan abu-abu. Warna hijau mengesankan rumput, tapi jika diperhatikan lebih baik seperti karpet. Sedangkan warna putih dan abu-abu menggunakan batu alam putih dan abu-abu, dilekatkan ke atap, agar polanya tidak berubah.

Yang menarik, atap yang menaungi ruang spa dan gym, bentuk atap itu landai pada salah satu sisi (dekat kolam renang), dan sepertinya mudah dipanjat. Akan tetapi, ada dinding, pagar pemisah antara area kolam renang.

Jika mengacu ke misi hotel DoubleTree “memberikan” ruang terbuka hijau untuk kota, maka seharusnya ruang yang tersedia dan memungkinkan, digunakan untuk ruang terbuka hijau sebesar-besarnya, misal ruang di atas atap. Ruang di atas atap dapat dirancang dengan untuk taman atap (roof garden).[3]

1. A garden on the roof of a building, especially one found in an urban setting.

2. The roof or top floor of a building designed for use by the public that often contains outdoor seating or dining facilities.

Jiwa Kawasan Menteng Dalam rancangan

Bagi yang mengenal “Menteng” yang terbayang adalah kawasan perumahan yang asri, teratur, rumah dan bangunan bergaya kolonial, kawasan yang mempunyai kisah sejarah kemerdekaan, dan warga menteng yang “berkelas”. Bagaimana merancang bangunan pada kawasan Menteng dengan “image” seperti itu, pada masa kini? Merancang bangunan yang terinspirasi dari gaya kolonial merupakan pilihan yang sederhana. Akan tetapi, apakah pilihan itu realitis, bila diterapkan pada bangunan hotel bintang 4 dengan tuntutan fasilitas yang lengkap dan jumlah kamar yang banyak? Gaya kolonial mempunyai pakem-pakem tersendiri yang tidak mungkin dipaksakan pada kebutuhan ruang dan fasilitas dengan kondisi tertentu.

Budiman menghadirkan “jiwa kawasan Menteng” melalui garis, bidang, dan kubus yang teratur dan rapi pada bangunan. Koridor dan jalur pedestrian yang jelas dan tegas. Pohon dan tanaman yang rindang dan asri. View (pemandangan) dari kamar ke arah lingkungan “khas Menteng” yang masih bertahan. Ke arah Timur melihat sebuah kompleks pemukiman kolonial berbentuk radial, sementara ke arah Barat, Stasiun Cikini yang berbentuk linier.

Pohon trembesi yang berusia puluhan tahun merupakan jejak peninggalan masa lalu yang masih dipertahankan, bersanding dengan pohon Ketapang kencana yang menjadi tren masa kini.

Tower 15 menjelaskan bahwa bangunan itu tidak hanya menjadi bagian dari kawasan Menteng, tapi merupakan bagian dari Jakarta.


[1] Simonds, Jhon Ormsbee, Landscape Architecture, Mcgraw-Hill Book Company, Inc., 1961, p. 95.

[2] P. Keane, Marc, Japanese Garden Design. Publishing by the Carles E. Tuttle Company, Inc., of Rutland, Vermont & Tokyo, Japan, 1996, p. 146.

[3]https://www.thefreedictionary.com/roof+garden diakses pukul 19:46 tanggal 10 Maret 2018.

More posts