Bukan Lagi Soal Kekinian

SIGN UP

Sebuah cerita tentang kenapa database itu menjadi begitu penting...

Mungkin awalnya, banyak yang tidak ada yang mau menyimak tentang ratusan nama-nama yang terpampang di atas kertas-kertas, dan kemudian ditampilkan ke dalam excel-excel berbaris baris. Ribuan data-data yang membuat mata mabuk beneran. Nama-nama yang asing. Angkatan, tanggal lahir dan profesi yang kini di geluti. Nomor yang bisa di hubungi ( tentunya nomor ponsel dan bukan nomor rumah lagi). Alamat email dimana sekarang setiap orang yang punya Hape android di pastikan punya alamat email yang aktif. Jenis kelamin dan nama panggilan pun menjadi isian yang cukup penting, tatkala nama yang terbaca bukanlah nama yang bisa kita tebak dengan mudah. Seperti nama Dwi, apakah kita bisa memastikan itu adalah perempuan dan bukan laki-laki. Ataukah sudah pasti laki-laki dan bukan perempuan...? Begitupun dengan nama panggilan. Tidak sedikit bahwa alumni yang biasanya dikenal di lintas angkatan, nama panggilannya bisa berujung dan tak berpangkal bila di keker dan di kaji dari nama aslinya. Misalnya Monchu dengan Sjahrazad Alamsyah...? Ada yang bisa bantu menjabarkan korelasi dan dasarnya tercipta nama unik Monchu dari nama lahirnya ? Saya pun tidak yakin orang tuanya punya kepentingan dan terlibat untuk urusan yang satu ini.

Dan mungkin saja, banyak yang mulai pura-pura tertarik untuk mengumpulkan data-data yang teracak bagaikan puzzle tercerai berai , karena jatuh dari kotaknya tanpa di sengaja saat di ambil dari atas lemari. Dan memang sungguh, tidak mudah untuk menyatukannya menjadi satu piece yang utuh. Karena secara kebetulan, tampilan gambarnya sebagai satu kesatuannya belum didapatkan. Karena kebetulan yang lain,gambar di masing-masing piece puzzlenya bukan gambar yang timbul dengan resolusi rendah. Jadinya dibutuhkan tenaga bala bantuan yang lebih banyak, kesabaran yang perlu di pompa dari hari ke sehari, di booster dengan daya juang yang tinggi. Terbayangkan belum...? kalau misi menyatukan puzzle puzzle itu bukan misi "tidak mungkin", melainkan misi yang " mungkin-mungkin saja, asalkan tim yang di susun dan master plannya dibuat cukup jelas dan terarah.

Trus siapa bilang kemungkinan itu mengarah ke labil, dan bukan stabil? Sudah jelas-jelas mungkin itu berada di titik tengah. Belum kiri belum juga ke kanan. Setengah iya, setengah ndak. Yang pasti, masih belum bisa memastikan apa yang akan dilakukan/terjadi di next stepnya.

Yang jelas sih, kalau alumni arsitektur UI itu terlahir dari angkatan 1965, namun belum cukup usia menetas di tahun ke -empat (yang bahwasanya bisa diselesaikan oleh angkatan 90-an ke atas). Makanya gelar insinyur, untuk angkatan 65-70an adalah sebuah kebanggaan yang tak tersuratkan lewat kata-kata. Lagi yang jelas-jelas lagi, angkatan 2000-an bisa tercatat sebagai angkatan kekinian jauh pusaran kegaptekan yang sudah seharusnya bisa menjadi sebuah katalisator untuk mensolusikan : “bagaimana cara untuk mendapatkan gambar utuhnya – semacam kerangka yang menjadi dasar alur untuk kilasan tanpa iklan dari sponsor”

BUT?

Berapa di angka mungkin untuk angkatan milenial agar mau mulai bahu membahu mengarah kesana? 40 dari 100? .. will it be higher? Or lower than that? Kecerdasan seseorang, dikenal dengan IQ (Intelligence Quotient) sudah pasti dimiliki oleh hampir 99% para alumni arsitektur UI ( masuk UI gituh lho.. :P). Namun untuk EQ dan SQ? Apakah nilainya akan berbanding sama? Atau malah mungkin berbanding terbalik? Lagi lagi kita hanya bisa menduga sambil berharap harap cemas, bahwa masih banyak dari mereka yang sudah siap mendaftarka dirinya di urutan yang pertama.. hanya tinggal menunggu panggilan dari panitianya yang masih sibuk mengaturkan jadwal piketnya.

“Everybody’s have the right to become a better person, if the person itself let him/her be the one”

NOTE :

EQ : emotional Quotient

SQ : Spiritual Quotient

More posts