ARSITEK BELIA INDONESIA

SIGN UP

Ada tiga kesalahan yang begitu telanjang terpampang pada cara bermimpi warga Negeri Arsitek beberapa musim belakangan ini. Pertama, mereka memimpikan hal yang cenderung sama. Kedua, mimpi yang sama itu adalah mimpi untuk menjadi Arsitek Belia Indonesia (ABI). Ketiga, dan ini yang paling parah, menjadi ABI Selanjutnya. Negeri Arsitek adalah negeri para pemimpi. Di sini hari bagai selamanya malam, dan karenanya setiap waktu di Negeri Arsitek adalah saat untuk bermimpi.

Di Negeri Arsitek, kita bisa bertemu Frank Lloyd Wright dan bebas bertanya, apakah Taliesin adalah kancah penajaman idealisme berarsitektur atau hanya sekedar mesin uang yang mentah-mentah dihajar dengan stempel organik seperti halnya beras organik dan sayur organik sebagaimana yang terjadi di Negeri Arsitek dan Negeri Indonesia. Di sini kita bisa berkunjung ke Bauhaus yang kini telah berubah menjadi gerakan virtual yang lebih concern terhadap issu-issu arsitektur hijau daripada sekedar bermodulria. Di sini kita juga bisa sekedar menyapa Hassan Fathy yang gemar berjalan kaki sambil bergurau apakah mungkin menjual arsitekturnya ke Middle East yang kini telah menjadi poros akumulasi kapital dan karenanya bisa membeli apa saja termasuk membeli mimpi dan membeli dunia dengan segala tetek bengek noraknya, yang seakan menjaga jarak dengan lokalitas dan berselingkuh dengan langgam para pesohor yang entah didapat dari mana.

Di sini kita bisa menyelami Bawa, yang berarsitektur dengan kaki menginjak “bumi”, atau sekedar memandangi Calatrava yang karyanya seperti melayang di “langit”, dan juga Pei yang berkarya diantara "bumi dan langit". Kita bisa menyapa semua legenda dan memahami idealisme apa yang berkecamuk di kepala Wiswakarma, Michaelangelo, Gunadharma, Corbu, Rohe hingga Mangunwijaya.Sebegitu bebasnya kita bermimpi dan sebegitu tak terbatasnya semesta mimpi di negeri ini, bagaimana mungkin warga Negeri Arsitek masih bisa bermimpi tentang ABI Selanjutnya?

Tak ada yang salah dengan ABI. Karena seperti halnya Negeri Arsitek, ABI memiliki landasan filosofis yang sama, yaitu : Mimpi yang tak berbatas. Kohesifitas dan militansi beberapa pemujanya telah teruji oleh waktu, meskipun belakangan semakin banyak cecunguk yang numpang populer di Wahana Carpet Terbang impian ABI. Maklumlah, sebagai sebuah dunia mimpi yang tak bisa diisolir oleh sekat apapun ABI memang lebih memilih langkah sebagai selebritas daripada semangat seorang Mpu Pembuat Keris. Dan pada setiap publikasi-publikasi yang menitik beratkan pada gaung, eksistensi, popularitas, menara gading dan apapun namanya, karya selalu menjadi urutan entah ke berapa karena tertutupi oleh gaya-gaya selebritas para pemujanya.

Kalaupun ada yang salah dengan ABI, itu tak lebih dari riuh rendah pemberitaan media terhadap selebritas-selebritasnya yang jauh lebih lebih spektakuler dibandingkan karya-karyanya. Sangat disayangkan. ABI yang seharusnya sudah melesat menjadi Guru Arsitektur dengan idealismenya yang semakin mengental malah sibuk mengelus-elus ABI Selanjutnya untuk melanggengkan idealisme bermimpinya yang belum tentu sama dengan ABI Selanjutnya. Apakah ABI takut mati tanpa sempat berkembang biak? Apakah ABI tak sanggup lagi bermimpi sehingga untuk melanjutkan mimpinya sendiri pun membutuhkan orang-orang lain? Apakah ABI Selanjutnya tidak memiliki mimpinya sendiri? Bagaimana sesungguhnya korelasi antara ABI dan ABI Selanjutnya? Apakah hanya mutualisme tunggang-menunggang popularitas demi melanggengkan kebebasan bermimpi? Kebebasan apalagi yang diinginkan ABI jika mimpi-mimpinya selama ini telah menjadi energi pembebasannya sendiri tanpa harus mengadang-gadang embel-embel yang tak perlu pada ABI Selanjutnya?

ABI Selanjutnya mutlak ada tapi bukan dengan wajah yang sama dengan ABI. Ia tak harus bernama ABI Something, tak harus berafiliasi dengan ABI, bahkan cenderung harus menjadi pisau-pisau tajam yang menyayat-nyayat tumor yang bagaimanapun juga masih terlihat gamblang berserakan di wajah ABI. ABI tak bisa mengoperasi dirinya sendiri. Ia membutuhkan jaman yang berbeda untuk memastikan ABI tidak menjadi ABI forever. Ia membutuhkan dukun santet beda generasi untuk memastikan ABI benar-benar mati karena hanya dengan mati bersama jamannya ABI akan senantiasa dikenang. ABI telah menjadi generasi yang gemar bermasturbasi. Biarkan sajalah, karena itu kekuatannya. Pada setiap masturbasi selalu yang menjadi orientasi adalah kepuasan diri sendiri. Klien, publik, lingkungan, bahkan arsitektur itu sendiri tak usah ikut-ikutan dibuat senang. Masa bodo sajalah. Namun jangan pernah menangisi masturbasi yang tak pernah bisa tahan lama. Namanya juga masturbasi. Cepat atau lambat tak pernah menjadi hitungan. Yang penting, seperti yang sudah dikatakan tadi, adalah kepuasan diri sendiri. Selama puluhan musim ABI telah bermasturbasi dengan karya-karyanya. Bagaikan jamur di musim hujan, ia berserakan dimana-mana namun tak pernah ada yang bertahan namun selalu datang di musim berikutnya dengan wajah yang tak pernah sama. Ia ada untuk mati saat itu juga. Terus seperti itu hingga musim ini tiba, musim dimana spirit ABI tetap sama seperti saat ABI dilahirkan.

Luar biasa. Sebagai sebuah spirit ABI memang sangat luar biasa. Ia konsisten menjadi jamur di musim hujan dan menjadi manik-manik di musim kemarau untuk menunggu petir di musim hujan yang mengubahnya kembali menjadi jamur-jamur yang akan mati saat itu juga. Spirit-spirit yang meskipun mati, ia tak pernah benar-benar mati karena selalu bisa hidup kembali di musim berikutnya.

Dan ABI Selanjutnya? Mungkin sebaiknya ia mati saja dan dari jasad reniknya yang telah pernah kenyang dengan kloningan DNA ABI, mengkonstruksi sebuah jasad baru dengan roh jamannya sendiri.

Mimpi adalah simbol kebebasan tanpa batas. Dan di negeri yang bebas bermimpi seperti di Negeri Arsitek, pasti ada yang salah ketika kita memimpikan hal yang sama, bermimpi menjadi ABI yang tak sejaman dengan kita, apalagi hanya sekedar menjadi ABI Selanjutnya yang hanya mendompleng idealisme dan popularitas dari kendaraan pemimpi lain yang sudah sangat mapan. Sepertinya tak ada lagi yang dibutuhkan warga negeri ini selain bobok siang atau bobok malam yang panjang. Bobok siang dan bobok malam panjang yang membuat seluruh negeri bisa bermimpi jauh melampaui apa yang bisa diimpikan negeri ini beberapa musim terakhir.

Dikutip dari tulisan : Gede Kresna A'94 ( 20 Feb 2009)

More posts