Akses Penyandang Disabilitas di Ruang Kota Setengah Hati

SIGN UP

Di wall facebook, saya melihat foto guiding block (garis kuning) yang mengarah ke pohon pelindung jalan dengan caption “ Saudara tuna netra kita disuruh nabrak pohon”. Saya miris melihat foto tersebut. Ini hanya salah satu foto, guiding block yang dibangun secara asal-asalan. Ada guiding block yang terlalu dekat tiang listrik, terlalu dekat dengan papan iklan, atau guiding block yang jalurnya tiba-tiba berhenti.

Tidak itu saja, jalur guiding block yang terletak di trotoar itu tertutup kendaraan roda dua (ada yang parkir di atas guiding block). Ada pasir yang menutupi tile guiding block. Ada yang memasang motif guiding block tidak sesuai dengan informasi yang disampaikan, yaitu motif titik (dot) digunakan untuk jalur jalan terus. Padahal motif titik memberikan informasi berhenti/persimpangan atau informasi lain selain jalan terus. Motif garis lurus memberikan informasi jalan terus.

Pembangunan guiding block dipaksakan pada trotoar yang sempit ( dengan lebar kurang dari 1 meter), atau trotoar yang banyak terdapat tiang listrik, sehingga jalur guiding block berbelok-belok menghindari tiang listrik, atau jalur trotoar yang menyempit dan terhenti. Bagaimana bisa membiarkan jalur guiding block dengan kondisi seperti itu untuk saudara kita yang tidak dapat melihat? Jelas, jalur guiding block seperti itu membahayakan penyandang tuna netra.

Ini masalah guiding block di trotoar. Masalah ramp lain lagi. Di sebelah tangga menuju bangunan terdapat ramp, akan tetapi kemiringan ramp terlalu terjal, sehingga timbul pertanyaan, ramp ini dibangun untuk penguna kursi roda, atau untuk mengangkut barang ke dalam bangunan? Ramp untuk penguna kursi roda kemiringannya antara 4-5 %, sehingga memudahkan penguna kursi roda untuk mengunakan ramp tanpa dibantu. Jika terlalu terjal, penguna kursi roda bisa terjungkal.

Lift tidak mengunakan huruf Braille pada angka lantai /buka-tutup pintu dan tidak ada suara (yang memberitahu lift sudah sampai pada lantai ke berapa/pintu terbuka/pintu tertutup). Huruf Braille dan suara pada lift sangat membantu tuna netra dalam pengunaannya, sehingga ia yakin, bahwa pintu lift sudah terbuka, tertutup, dan lift sudah sampai pada lantai yang ia tuju. Sedangkan bagi tuna rungu/wicara, akan kesulitan jika tidak ada akses visual berupa dinding/jendela kaca pada lift, karena jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, mereka tidak dapat berkomunikasi melalui suara, tapi melalui bahasa tulisan dan gerakan tubuh. Papan petunjuk arah/informasi yang terbatas menyebabkan tuna rungu/wicara kesulitan mengakses ruang, karena mereka mendapatkan informasi dan berkomunikasi menggunakan bahasa tulisan dan simbol.

Di beberapa bangunan umum tidak terdapat toilet untuk penguna kursi roda, malah ukuran toilet sangat kecil, sehingga menyulitkan penguna kursi roda untuk bermanuever dan transfer (berpindah). Tidak semua tempat parkir terdapat parkir khusus untuk penguna kursi roda.

Dalam UU Undang-Undang No. 8 /2016 tentang Penyandang Disabilitas, Permen PUPR No. 14/PRT/M/2017 tentang pesyaratan kemudahan bangunan gedung, dan Perda DKI Jakarta No 10/2011 tentang Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas, telah dijelaskan tentang ketersediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, agar mereka mendapatkan aksesibilitas yang sama dengan yang lain, baik secara fisik dan non fisik.

Ada upaya dari pemerintah kota dan pengelola bangunan untuk memudahkan penyandang disabilitas mengakses ruang, sehingga mereka dapat berkegiatan tanpa hambatan. Akan tetapi upaya disain arsitektur yang dapat diakses penyandang disabilitas itu tidak seperti yang diharapkan, terkesan asal jadi, asal ada, mulai dari perencanaan, perancangan, pembangunan, dan pemeliharan/perawatan. Kebutuhan utama penyandang disabilitas untuk mengakses ruang tidak terpenuhi.

Untuk itu, perlu pemahaman bagaimana penyandang disabilitas (tuna netra, tuna daksa, dan tuna wicara/rungu) menggunakan ruang. Tuna netra membutuhkan panduan dalam mengakses ruang dan menggunakan tongkat sebagai alat bantu untuk menuntun/memandu dalam berjalan. Guiding block salah satu panduan yang memudahkan tuna netra, selain aplikasi “be my eyes” bagi tuna netra untuk mengakses ruang. Tuna daksa (penguna kursi roda) akan terbantu dengan lantai yang datar, atau ramp dengan kemiringan 4-5 %, dan lift. Sedangkan tuna rungu sangat mengandalkan tulisan/simbol dan akses visual jika mereka berada di dalam ruangan.

Bagaimana meminimalkan hambatan agar penyandang disabilitas dapat mengunakan ruang secara mandiri? Salah satu caranya dengan universal design (disain yang dapat diakses oleh semua orang), misal lift, lift dengan universal design adalah lift yang mempunyai jendela/pintu kaca (ada akses visual), ada teks berjalan (running text), ada huruf braille pada angka lantai/pintu terbuka/tertutup, dan ada suara yang memberikan informasi yang diperlukan (lift naik/turun, pintu lift terbuka/tertutup, dan lift sudah sampai di lantai ke berapa). Contoh yang lain , trotoar ; trotoar lebar, ada guiding block (jalur kuning), ada papan petunjuk arah/informasi, dan perbedaan ketinggian lantai pada trotoar menggunakan ramp yang landai.

More posts